Candi Ceto (hanacaraka, ejaan bahasa Jawa
latin: cethå) merupakan candi bercorak agama Hindu
yang diduga kuat dibangun pada masa-masa akhir era Majapahit
(abad ke-15 Masehi). Lokasi candi berada di lereng Gunung Lawu
pada ketinggian 1496 m di atas permukaan laut, dan secara administratif berada
di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar.
Kompleks candi digunakan oleh penduduk setempat dan
juga peziarah yang beragama Hindu sebagai tempat pemujaan. Candi ini juga
merupakan tempat pertapaan bagi kalangan penganut kepercayaan asli Jawa/Kejawen.

Gapura Candi
Ceto
Ketika ditemukan keadaan candi ini merupakan
reruntuhan batu pada 14 teras/punden bertingkat, memanjang dari barat (paling
rendah) ke timur, meskipun pada saat ini tinggal 13 teras, dan pemugaran
dilakukan pada sembilan teras saja. Strukturnya yang berteras-teras ("punden
berundak") memunculkan dugaan akan sinkretisme
kultur asli Nusantara dengan Hinduisme. Dugaan ini diperkuat oleh aspek ikonografi.
Bentuk tubuh manusia pada relief-relief menyerupai wayang kulit,
dengan wajah tampak samping tetapi tubuh cenderung tampak depan. Penggambaran
serupa, yang menunjukkan ciri periode sejarah Hindu-Buddha akhir, ditemukan di
Candi Sukuh.
Pemugaran pada akhir 1970-an yang dilakukan sepihak
oleh Sudjono Humardani, asisten pribadi Suharto
(presiden kedua Indonesia) mengubah banyak struktur asli candi, meskipun konsep
punden berundak tetap dipertahankan. Pemugaran ini banyak dikritik oleh para
pakar arkeologi,
mengingat bahwa pemugaran situs purbakala tidak dapat dilakukan tanpa studi
yang mendalam. Beberapa objek baru hasil pemugaran yang dianggap tidak original
adalah gapura megah di bagian depan kompleks, bangunan-bangunan dari kayu tempat
pertapaan, patung-patung yang dinisbatkan sebagai Sabdapalon,
Nayagenggong,
Brawijaya V,
serta phallus, dan bangunan kubus pada bagian puncak punden.
Selanjutnya, Bupati Karanganyar periode 2003-2008, Rina Iriani,
dengan alasan untuk menyemarakkan gairah keberagamaan di sekitar candi,
menempatkan arca Dewi Saraswati, sumbangan dari Kabupaten
Gianyar, pada bagian timur kompleks candi, pada punden lebih tinggi
daripada bangunan kubus.
Susunan bangunan
Inskripsi
pada gapura teras ke-7
Pada keadaannya sejak renovasi, kompleks Candi Ceto
terdiri dari sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura besar berbentuk candi bentar,
pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga. Aras pertama setelah gapura masuk
(yaitu teras ketiga) merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa halaman.
Pada aras ketiga terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur masyarakat Dusun
Ceto.
Sebelum memasuki aras kelima (teras ketujuh), pada
dinding kanan gapura terdapat inskripsi (tulisan pada batu) dengan aksara Jawa
Kuna berbahasa Jawa Kuna berbunyi pelling padamel irikang buku tirtasunya
hawakira ya hilang saka kalanya wiku goh anaut iku 1397[1].
Tulisan ini ditafsirkan sebagai fungsi candi untuk menyucikan diri (ruwat) dan
penyebutan tahun pembuatan gapura, yaitu 1397 Saka
atau 1475 Masehi. Di teras ketujuh terdapat sebuah tataan batu mendatar di
permukaan tanah yang menggambarkan kura-kura raksasa, surya
Majapahit (diduga sebagai lambang Majapahit), dan simbol phallus
(penis,
alat kelamin laki-laki) sepanjang 2 meter dilengkapi dengan hiasan tindik
(piercing) bertipe ampallang. Kura-kura adalah lambang penciptaan
alam semesta sedangkan penis merupakan simbol penciptaan manusia. Terdapat
penggambaran hewan-hewan lain, seperti mimi, katak, dan ketam. Simbol-simbol hewan
yang ada, dapat dibaca sebagai suryasengkala berangka
tahun 1373 Saka, atau 1451 era modern. Dapat ditafsirkan bahwa kompleks candi
ini dibangun bertahap atau melalui beberapa kali renovasi.
Pada aras selanjutnya dapat ditemui jajaran batu pada
dua dataran bersebelahan yang memuat relief cuplikan kisah Sudamala,
seperti yang terdapat pula di Candi Sukuh.
Kisah ini masih populer di kalangan masyarakat Jawa sebagai dasar upacara ruwatan. Dua aras
berikutnya memuat bangunan-bangunan pendapa yang mengapit jalan masuk candi.
Sampai saat ini pendapa-pendapa tersebut digunakan sebagai tempat pelangsungan
upacara-upacara keagamaan. Pada aras ketujuh dapat ditemui dua arca di sisi utara dan
selatan. Di sisi utara merupakan arca Sabdapalon
dan di selatan Nayagenggong, dua tokoh setengah mitos (banyak yang menganggap
sebetulnya keduanya adalah tokoh yang sama) yang diyakini sebagai abdi dan
penasehat spiritual Sang Prabu Brawijaya V.
Pada aras kedelapan terdapat arca phallus
(disebut "kuntobimo") di sisi utara dan arca Sang Prabu Brawijaya V
dalam wujud mahadewa. Pemujaan terhadap arca phallus
melambangkan ungkapan syukur dan pengharapan atas kesuburan yang melimpah atas
bumi setempat. Aras terakhir (kesembilan) adalah aras tertinggi sebagai tempat
pemanjatan doa. Di sini terdapat bangunan batu berbentuk kubus.
Di bagian teratas kompleks Candi Ceto terdapat sebuah
bangunan yang pada masa lalu digunakan sebagai tempat membersihkan diri sebelum
melaksanakan upacara ritual peribadahan (patirtan). Di timur laut bangunan
candi, dengan menuruni lereng, ditemukan sebuah kompleks bangunan candi yang
kini disebut sebagai Candi Kethek ("Candi Kera").
https://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Ceto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar